Tragedi Santa Cruz dan Sejarah Kekerasan Indonesia di Timor Leste
Tiga bulan menjelang Natal 1991 kabar beredar di Timor Timur: sebuah delegasi parlemen dari Portugal berniat mengunjungi daerah itu. Rencananya, kedatangan mereka akan diikuti 12 jurnalis internasional. Siapapun tak menyangka hal ini akan memicu peristiwa yang akan diingat orang sebagai catatan khusus dalam sejarah kekerasan militer Indonesia di bumi Lorosae.
Belakangan niatan Portugal ini ditolak pemerintah Soeharto. Indonesia keberatan bila kunjungan itu disertai para jurnalis—sementara di dalam negeri sendiri, seperti kata mantan pewarta Jakarta Jakarta Seno Gumira Ajidarma, “jurnalisme dibungkam dan harus menggunakan sastra untuk bisa berbicara.”
Jauh-jauh hari para pemuda Timor Leste yang melakukan perlawanan bawah tanah sudah kadung menyiapkan sambutan atas kunjungan Portugal itu. Namun gerakan klandestin mereka ternyata diketahui intelijen Indonesia. Mereka yang membuat spanduk-spanduk penyambutan delegasi Portugal di gereja Moteal Dili diawasi terus gerak-geriknya oleh TNI.
Hingga pada malam 27 Oktober 1991, sekelompok provokator yang bekerja untuk intelijen Indonesia mengejek para aktivis pro-kemerdekaan dan memancing mereka untuk ribut. Anak-anak muda Timor Leste terpancing dan perkelahian berlangsung di malam itu juga.
Pagi hari 28 Oktober 1991, jasad aktivis muda pro-kemerdekaan, Sebastiao Gomez, ditemukan tergeletak di dekat gereja Moteal.
🔸Tentara Menembaki Demonstran
• Dua pekan setelah itu, pagi 12 November 199, Pastur Alberto Ricardo memimpin misa arwah untuk memperingati kematian Gomez di gereja Moteal Dili. Misa diikuti ribuan umat Katolik Timor Leste.
Ketika misa usai pukul 07.00 waktu setempat, sekitar lima ratusan orang keluar gereja sembari membentangkan spanduk bergambar Xanana Gusmao, pemimpin gerakan pro-kemerdekaan Timor Leste. Sambil terus berjalan mereka memekikkan “Timor Leste! Timor Leste! Timor Leste!”. Iringan pengunjuk rasa itu berjalan sekitar 4 kilometer menuju pemakaman Santa Cruz, tempat Gomez dimakamkan.
Sampai di pemakaman Santa Cruz, menurut Paul R. Bartrop dan Steven Leonard Jacobs dalam Modern Genocide (2014), tentara Indonesia telah bersiaga yang terdiri dari pasukan Kompi A Brimob 5485, Kompi A dan Kompi D Batalion 303, dan kompi campuran—dengan pakaian preman yang dibentuk pada malam sebelumnya. Selain itu Batalion 744 dan personil dari Kodim 1627 juga berada di sana.
Saat itulah, seperti terlihat dari rekaman video jurnalis Inggris Max Stahl, suasana menjadi kacau. Sirine dan suara letusan tembakan memekik telinga. Para demonstran lari tunggang-langgang. Sementara yang lain mencari persembunyian di antara nisan-nisan Santa Cruz.
Berdasarkan kesaksian, seperti ditulis Paul R. Bartrop, tentara Indonesia menembaki massa dengan membabi buta diikuti berondongan senapan otomatis selama beberapa menit. Tentara Indonesia menembak ke tengah kerumunan dan membuat para aktivis pro-kemerdekaan tertembak di punggung saat mereka berusaha melarikan diri. Tentara lainnya menendang dan menusuk korban luka serta sejumlah orang yang bersembunyi di area pemakaman.
Hukman Reni di buku Eurico Guterres: Saya Bukan Siapa-siapa (2015) menyebutkan, “Dalam Laporan Dewan Kehormatan Militer, Peristiwa 12 November itu menewaskan 50 warga sipil Timor Timur. Tetapi laporan lain menyebutkan ratusan orang luka-luka dan puluhan tewas kena peluru tentara Indonesia. Penyelidikan rinci dari perlawanan bawah tanah Timor Timur bahkan mendapatkan angka 273 tewas.”
Berdasarkan video Max Stahl itulah setidaknya mata dunia terbuka. Amnesty Internasional menganugerahi video insiden Dili berjudul Cold Blood: The Massacre of East Timor itu sebagai video terbaik untuk kategori hak asasi manusia pada 1992.
Sementara para aktivis Timor Timur di luar negeri yang sebelumnya tidak diperhitungkan, kembali mendapatkan simpati. Rosihan Anwar di Sejarah kecil "Petite Histoire" Indonesia (2004) menjelaskan pembantaian di Dili mengakibatkan masalah Timor Timur ditaruh di agenda internasional mengenai HAM.
“Para aktivis Timor Timur yang beroperasi di luar negeri, terutama Ramos Horta, memperoleh lebih banyak perhatian internasional,” terangnya.
Rosihan Anwar benar. Pakar politik Australia Rebecca Strating dalam Social Democracy in East Timor (2015) menyebutkan setelah insiden Dili itu, senator AS meminta Presiden George Bush Sr. agar membantu Timor Timur menentukan nasib sendiri dengan memasukkan persoalan tersebut dalam agenda resolusi Majelis Umum PBB.
Tekanan internasional, terutama Amerika, terhadap Timor Timur itu dijawab Jakarta dengan mengubah struktur kepemimpinan militer di Timor Timur. Awal 1992 Mabes AD melalui Dewan Kehormatan Militer (DKM) memecat Panglima Daerah Militer (Pangdam) IX Udayana, Mayjen Sintong Panjaitan, Pangkalakops Timor berserta seluruh Asisten Pangkolakops, Danrem 164/Wira Dharma, Dandim 1827/Dili dicopot dari jabatannnya.
Di buku Hendra Subroto, Sintong Panjaitan, Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando (2009), Sintong berkilah bahwa ada kemungkinan keterlibatan pihak ketiga dalam Insiden 12 November di Dili itu. Pihak ketiga inilah yang menurut Sintong menjadi dalang aksi sabotase di Santa Cruz yang mengarah ke kekerasan militer. Tapi Sintong tak menyebut dengan jelas siapa pihak ketiga tersebut.
Sementara itu, mantan Komandan Kopassus yang pernah bertugas di Timor Timur, Prabowo Subianto, menyebutkan bahwa tindakan penyerangan di Santa Cruz itu tidak taktis secara militer.
“Anda tidak semestinya membunuh warga sipil di depan pers internasional,” ujar Prabowo kepada jurnalis Amerika Allan Nairn seperti dikutip dari laman alannairn.org.
“Komandan-komandan itu bisa saja membantai di desa-desa terpencil sehingga tak diketahui siapapun, tapi bukan di ibu kota provinsi!” tambahnya.
🔸Mengabaikan Tekanan Internasional
• Kendati sejumlah komandan yang diduga terlibat dalam Santa Cruz dipecat dari jabatannya, Jakarta tetap menjalankan operasi militer di Timor Timur. Stephen McCloskey dalam East Timor Question: The Struggle for Independence from Indonesia (2000) bahkan menyebutkan setelah Pembantaian Dili, Departemen Luar Negeri AS mengeluarkan lisensi penjualan 300 jenis peralatan militer ke Indonesia. Beberapa item yang dijual: dari senapan mesin dan M-16 sampai komponen elektronik, dari alat komunikasi hingga suku cadang pesawat tempur.
Dengan dukungan seperti itu maka tentara Indonesia di bawah Panglima ABRI Jenderal Try Sutrisno dengan tanpa was-was dituding melanggar HAM dan menangkap pemimpin kemerdekaan Timor Timur Xanana Gusmao pada 20 November 1992, setahun setelah insiden berdarah di Santa Cruz.
Menurut Rebecca Strating, dalam sebuah pernyataan kepada Majelis Umum PBB pada 1994, Amnesty International bersama lembaga-lembaga hak asasi manusia lain di Asia Pasifik dan Inggris menyesalkan terjadinya pembantaian Santa Cruz dan pemenjaraan Xanana Gusmao.
Kendati ada tekanan dari lembaga-lembaga hak asasi internasional, Indonesia tetap bersikukuh dengan operasi militernya untuk menumpas “krebo-krebo hutan”—sebutan untuk kombatan Fretelin yang disematkan ABRI. Tentara Indonesia baru hengkang dari Lorosae ketika Timor Leste merdeka pada 1999.
Pada 25 Januari 2006, Washington Post pernah melaporkan hasil penelitian Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi Timor Timur. Menurut penelitian komisi itu, Amerika seharusnya bertanggungjawab karena telah mendukung baik secara politik dan militer kepada Indonesia sejak pertama kali menyerang Timor Timur pada Desember 1975 dan selama mempertahankan daerah itu selama 24 tahun. Setidaknya akibat invasi ini lebih dari 100.000 orang telah tewas.
Sekian.
"Aku mengenali mereka
yang tanpa tentara
mau berperang melawan diktator
dan yang tanpa uang
mau memberantas korupsi"
- Soe Hok Gie (Aktivis)
Sumber : - Buku Modern Genocide
- Buku Eurico Guterres: Saya Bukan Siapa-siapa
- Video Dokumenter Cold Blood: The Massacre of East Timor
- Buku Sejarah Kecil Indonesia "Petite Histoire"
- Artikel Social Democracy in East Timor
- Buku Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando
- Artikel East Timor Question: The Struggle for Independence from Indonesia
Posting Komentar